Kisah Pengemis Tua yang Buta
Mereka Bagai Matahari, Karena Saya Melihatnya Dengan Hati
Oleh Oscar Ferri
(6/3/2011)
Setiap manusia dilahirkan
sempurna, berikut juga dengan seperangkat panca indera yang lengkap. Salah satunya
indera penglihatan. Ya, dengan adanya sepasang mata, seseorang dapat melihat
keindahan yang ada di dunia. Namun apa jadinya jika seseorang mengalami
kebutaan, baik sedari lahir maupun karena suatu kecelakaan? Lantas bagaimana ia
dapat memaknai dan menilai suatu keindahan yang ada di dunia yang terkadang cuma
bisa dilihat dengan mata?
Pagi itu (4/3), saat mentari sedang
mengembangkan senyumannya, Supriatna sudah berada di tempatnya mengais rezeki. Ia
hanyalah pengemis tua yang buta, yang hanya mengandalkan belas kasih
orang-orang. Tempat mangkalnya adalah jembatan penyeberangan di depan Kampus
Universitas Indonesia, Salemba. Biasanya, Supriatna “bekerja” di sini sejak
pukul tujuh pagi sampai menjelang Adzan Zuhur.
“Saya sudah mengalami kebutaan
dari lahir, mas. Ibu saya juga tidak tahu mengapa, karena saya dilahirkan atas
bantuan dukun beranak. Orangtua saya hanya pemulung, jadi tidak ada biaya untuk
melahirkan di rumah sakit,” ujar Supriatna menceritakan perihal kondisinya
sejak masih bayi.
Pria berusia 54 tahun ini
akhirnya tumbuh tanpa penglihatan layaknya anak-anak sebayanya kala kecil. Hingga
ketika dirinya beranjak remaja, sang orangtua menyuruhnya mengemis untuk
menambah penghasilan keluarga. Bahkan, ia tak sempat mengenyam pendidikan yang
layak karena keterbatasan dana. Alhasil, ia resmi “bekerja” menjadi pengemis, utamanya
ketika sang ayah meninggal karena paru-paru basah ketika dirinya berusia 20
tahun, sedangkan ibunya mengalami sakit ginjal yang akut.
Kini, sudah 33 tahun lebih sejak
ibunya menyusul suami tercinta, dipanggil Yang Maha Kuasa, Supriatna menjalani seluruh
hidupnya sebagai pengemis. Telah puluhan kali ia berpindah tempat mengemis dari
satu tempat ke tempat lainnya. Namun, di jembatan inilah ia paling sering
mangkal.
“Kalau di sini dekat dari rumah. Jadi
saya tak perlu berjalan jauh,” katanya. Sayang saat ditanya di mana letak kediamannya,
ia menolak memberitahu.
Lebih lanjut, Pria yang sudah
mempunyai dua orang anak ini, menjelaskan kenapa dirinya hanya mengemis
setengah hari.
“Sudah hampir 5 tahun ini
kesehatan saya terganggu. Karena tidak ada biaya, saya tidak ke dokter untuk
sekadar mengetahui penyakit saya,” terang suami dari Watiyem (perempuan yang
juga buta) ini.
Banyak pengalaman yang tak
mengenakkan menjadi pengemis. Ia menceritakan, seringkali harus berhadapan
dengan petugas Satpol PP tatkala ada razia Gepeng (Gelandangan dan Pengemis). Oleh
karena dirinya tak bisa melihat, ia hanya bisa pasrah saat beberapa kali
ditangkap petugas untuk diberikan penyuluhan dan pembinaan. Tak jarang pula ia
disuruh untuk tidak menjadi pengemis lagi di Ibukota. Namun, hendak pergi ke
mana dan bekerja menjadi apa ia tak tahu. Menurutnya, penyuluhan dan pembinaan
yang didapat dari petugas Satpol PP hanya dikhususkan bagi orang-orang yang
bisa melihat saja, seperti diajarkan menjahit atau membuat kerajinan tangan. Ia pun tak tahu apakah masih mempunyai sanak
saudara di kampung halamannya atau tidak. Ia hanya sempat diceritakan oleh ayahnya,
bahwa ayahnya berasal dari Garut, Jawa Barat, sedangkan sang ibu berasal dari
Kroya, Jawa Tengah. Alhasil, ia lebih memilih untuk tetap menjadi pengemis di
kota yang penuh keangkuhan ini.
Hal lain yang juga tak
mengenakkan hatinya adalah saat ia dan keluarganya dihina oleh orang-orang. Pernah
suatu hari, Supriatna mengisahkan, ia beserta istrinya berniat mengontrak rumah,
namun selalu ditolak. Alasannya, Supriatna dan istrinya buta, sehingga dianggap
takkan mampu membayar uang kontrakan karena tak mempunyai pekerjaan yang jelas,
selain mengemis. “Kejadiannya kira-kira 10 tahun lalu,” jelasnya, “Tapi,
alhamdulilah setelah memutar mencari kontrakan, ada seseorang yang baik hati,
dan bersedia memberi kesempatan untuk saya dan keluarga tinggal di salah satu
rumahnya yang memang sudah tidak dipakai lagi.” Orang itu ia panggil dengan
sebutan pak haji (Supriatna juga enggan memberi tahu nama orang tersebut),
karena sering mendengar orang-orang memanggilnya begitu.
Rumah yang ditempatinya hingga
sekarang ini, menurutnya kira-kira berukuran 3 x 5 meter. Tanpa atap genting,
hanya seng. Tanpa tembok bata, hanya teriplek. Keluarga Supriatna juga
terkadang diberi bantuan untuk sekadar makan sehari-hari oleh pak haji. Bahkan,
sekarang-sekarang ini pak haji tersebut sering memberi anak-anaknya uang saku
untuk pergi ke sekolah. Anaknya mengenyam pendidikan di sekolah terbuka (sekolah
gratis) yang dikelola oleh sebuah LSM, tak jauh dari rumahnya, sejak 3 tahun
lalu. Soal LSM, ia tak mengetahui LSM mana yang membuka sekolah gratis. “Saya
tidak tahu. Karena yang mengurus semuanya pak haji,” ia menjelaskan.
Dunia sekitar Supriatna memang
gelap. Namun, ia berusaha untuk tetap tersenyum dan bersyukur atas kehidupannya,
dan juga berterima kasih pada pak haji yang menurutnya banyak membantu. Ia juga
bahagia karena diberi oleh Tuhan seorang Watiyem yang telah menemani hidupnya
15 tahun terakhir dan memberinya dua orang putri yang kini hendak beranjak
remaja. Bahkan, ia sendiri tak mengetahui apakah istrinya cantik atau tidak, dan
bagaimana rupa kedua anak perempuannya. Yang ia tahu adalah hatinya merasa
sangat bahagia karena telah diberi kesempatan untuk membina rumah tangga. Yang
ia tahu dirinya sangat bahagia karena memiliki sebuah keluarga yang lengkap,
meski ia dan istrinya secara keadaan fisik tidak lengkap.
Ia juga mengaku hanya bisa nrimo atas hidupnya ini. Ia sudah
terbiasa hidup miskin dan diapatiskan oleh sekitar. Di kala ia sering mendengar
banyak orang yang lahir sempurna tetapi malah menyalahgunakan kesempurnaannya,
ia malah merasa beruntung karena tak perlu melihat dunia yang ternyata tak
seindah ia bayangkan dalam kegelapannya. Ia sering mendengar orang-orang sering
bergunjing tentang banyaknya pejabat yang korupsi, atau obrolan para
tetangganya mengenai bencana yang sejatinya diakibatkan oleh ulah manusia (yang
lahir sempurna) itu sendiri. Dunia yang sangat indah baginya adalah istri dan
anak-anaknya. Sekalipun Supriatna tak dapat melihatnya dengan mata, namun ia
dapat melihat mereka dengan hati.
“Sekalipun dunia itu (istri dan
anaknya) hanya sebatas gelap, namun karena saya melihatnya dengan hati, mereka
layaknya matahari bagi hidup saya,” pungkas Supriatna.
*Pak Supriatna tidak mengizinkan
dan memohon kepada penulis agar tidak mengikutinya pulang ke rumah. Penulis menghargai
keinginan bapak tua itu, sekalipun penulis masih penasaran untuk mengikuti alur
kehidupannya lebih lanjut dan lebih lengkap. Dan penulis bisa saja menguntit
diam-diam, namun dia punya hak tolak yang mesti dihargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar