Minggu, 14 November 2010

Multikultural-Multietnis-Multitinju di Jakarta

Agak bingung juga ya mau menulis apa di blog baru ini. hmmm... ada dua alasan mengapa sayang kebinngungan untuk menulis apa di blog yang saya beri judul Imperfect Time ini. pertama dulu saya pernah mempunyai blog, tapi karena sekian waktu tidak pernah diakses lagi oleh saya, akhirnya dengan sendirinya saya lupa akun dan passwordnya.he. Kedua, ini blog saya yang baru -tentunya yang kedua setelah yang pertama itu lupa-, sehingga saya tidak mempunyai bahan untuk tulisan saya. anyway lupakan kedua alasan tidak penting itu. sekarang mari melihat tulisan saya yang mengulas tentang Multikultural Di Jakarta. tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik coratcoret PendarPena (sebuah majalah independen kampus yang saya kelola bersama temanteman). oleh karena saya belum memiliki bahan dan memikirkan apa yang saya tuliskan, maka saya mengopy-paste berkas tulisan saya ini dari folder Arsip PendarPena. hitunghitung sebagai permulaan untuk saya kembali menulis ke depannya. selamat membaca.
NB, tulisan ini sudah mengalami pengeditan sendiri hari ini. editan tidak mengubah esensi tulisan, hanya sebatas gramatikal.


Multikultur-Multietnis-Multitinju di Jakarta

Bagi sebagian warga, atau bahkan semua orang yang tinggal di Jakarta, kata ‘tawuran’ kian akrab di telinga mereka. Bahkan untuk sebagian orang yang tinggal di kota berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa ini, tawuran sudah merupakan sesuatu hal yang biasa. Betapa tidak, hampir setiap ada kesempatan, tawuran pasti terjadi. Entah antarsekolah, antarkampung, antaretnis, hingga antarmahasiswa. Hmmmm…
Kata tawuran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki lema ‘tawur’, ‘perkelahian beramairamai; perkelahian massal’. Bisa dikatakan, secara luas ‘tawuran’ memiliki pengertian kirakira seperti ini: ‘perkelahian yang melibatkan orang banyak, baik atas nama kelompok, geng, bahkan etnis’. Adapun dalam ajang tawuran biasanya kelompok yang bertikai menggunakan berbagai macam jenis benda sebagai senjata. Di sinilah terjadi ajang pamer kekuatan dan kehebatan suatu kelompok yang berseteru.
Berdasarkan penelusuran kontemporer, tawuran di Jakarta sudah ada sejak dekade 1980an, dan berangsur-angsur berkurang di awal tahun 2000an. Selama interval waktu tersebut, tercatat banyak sekali tawuran yang berlangsung di beberapa titik di Jakarta. Biasanya tawuran di Jakarta berupa perkelahian antargeng, antaranak sekolah, antarmahasiswa, antarkampung, sampai antar etnis. Mulai dari menggunakan tangan kosong, batu, kayu, bambu, senjata tajam, sampai penggunaan senjata api (pistol, senapan angin, dorlop, dll). Tak sedikit korban jiwa, serta pihak-pihak yang mengalami kerugian dari sering dan brutalnya perkelahian massal tersebut.
Pada akhir 1990an, tawuran di Jakarta semakin menggila. Tepatnya pada tahun 1997, 1998, dan 1999. Bukan hanya antarkelompok, geng atau antar sekolah lagi, tapi sudah menjalar ke perkelahian antaretnis. Beberapa etnis di Jakarta tercatat telah beberapa kali bentrok yang berkepanjangan, di antaranya etnis Nusa Tenggara Timur versus warga Rempoa, Madura versus Timor Timur, Madura versus Betawi, Madura versus Ambon dan Flores, Batak versus Sunda, Betawi dan Madura versus Ambon dan Flores. Bentrokan-bentrokan tersebut sejatinya tak hanya membawa nama etnis, melainkan juga memikul nama kampung, sampai RT/RW, sebagai wilayah bertempat tinggal mereka.
Benar kiranya ungkapan Lance Castle (sejarawan Australia) dalam Profil Etnik Jakarta, bahwa Jakarta ibarat Melting Pot (panci pelebur). Sebab di kota inilah terjadi peleburan berbagai etnis dan budaya di Indonesia. Mulai dari orang Jawa, Bugis, Sunda, Batak, Ambon, Madura, dan lainlain. Mereka telah mendiami sejak lama kota yang mempunyai nama purba Kalapa Sunda ini. Lantas pertanyaan pun muncul, apakah yang mendasari terjadinya tawuran yang melibatkan antaretnis di Jakarta? Persaingan budaya atau gesekan budayakah? Sukar sekali menemukan jawaban pasti, sebab untuk menjawabnya kita mesti pelajari betul konteks peristiwa yang melatarbelakangi tiap tawuran itu terjadi. Pemantik tawuran A tentu berbeda dengan tawuran B.
Jakarta merupakan kota yang multikultur, yang terdiri atas berbagai suku dan ras di Nusantara, atau dalam kalimatnya Castle, "Tuhan menciptakan orang Indonesia di Jakarta". Dengan membawa nama kedaerahan, orang-orang mungkin sering berpikir, bahwa tawuran antaretnis di Jakarta terjadi karena adanya persaingan dan benturan budaya yang mereka bawa dari daerah asalnya masingmasing. Orang-orang layak saja berpikir seperti itu, namun faktanya berbeda. Berbagai media massa–baik elektronik, maupun cetak–yang pernah memberitakan, tawuran antaretnis terjadi karena adanya perebutan lahan–baik lahan parkir maupun berdagang–, yang diawali dari perkelahian antarindividu karena pemerasan atau pemalakan, dan lainlain; bahkan persaingan antarbendera politik yang diusung pun juga menjadi salah satu penyebab terjadinya tawuran antaretnis di Jakarta.
Dari sebab terjadinya tawuran antaretnis di atas, satu yang sejatinya tersirat, yakni faktor kemiskinan yang menjadi pemicu esensialnya. Parkiran dan berdagang merupakan mata pencaharian hampir semua warga yang pengangguran usia muda. Karena menganggur mereka membentuk kelompok atau geng (satu etnis) dalam usaha mencari sumber pendapatan ekonomi. Dalam mencari ladang nafkah (lahan parkir dan berdagang), mereka tak segan-segan berkelahi dengan kelompok pengangguran lain untuk berebut monopoli tempat tersebut. Kepentingan ekonomi telah menyatukan mereka untuk melawan kelompok lain yang juga mempunyai kepentingan yang sama. Dalam konteks ini, kepentingan ekonomi seorang individu telah menjadi kepentingan bersama atau solidaritas satu kelompok, geng, atau etnis.
Berdasarkan ilustrasi singkat ini, adanya tingkat pengangguran yang tinggi yang berakibat domino, yakni adanya kemiskinan yang merajalela, merupakan salah satu sebab utama seringnya tawuran di Jakarta terjadi. Tak pelak lagi, sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia di Jakarta telah menyulap lahan parkir dan berdagang jalanan menjadi arena peruntungan yang diperebutkan oleh para penganggur tersebut. Lalu siapakah yang salah? Pemerintah atau para penganggur?


*Pernah di muat dalam Coratcoret untuk Media Populer Alternatif PendarPena NO.2 THN 2-MULTIKULTURALISME

Tidak ada komentar:

Posting Komentar