Minggu, 14 November 2010

Dengan Rokok Aku Bisa Tenang

Baru saja Ia sampai di rumah, usai seharian bekerja. Ia melangkah, menaiki tangga di ujung belakang dalam rumah; kamarnya memang berada di atas. Usai menggantungkan tas, Ia menjatuhkan diri ke kasur. Sambil masih mengapit sebatang rokok menyala, ia menggamit asbak. Matanya menerawang langitlangit kamar, pada lampu, atau pada kipas yang debunya mungking sekilo. Pikirannya masih kalut atas peristiwa yang terjadi sore ini.
***

Rokok yang diapitnya sudah habis terbakar. Ia mengambil lagi sebatang. Membakarnya. Menyemburkan asapnya ke udara. Membiarkannya terbang-menarinari, berjogetjoget diterpa angin, dan lalu lenyap. Sesambil itu, telunjuknya menekan tombol power komputer. Di taruhnya rokok pada asbak. Airmatanya tak terasa mengalir. Ia mengklik logo winamp, kemudian meng-control+L. Ia caricari folder Audio-Music-E-Efek Rumah Kaca. Ia klik kanan, play in winamp. Terputar lagu pertama "Lagu Kesepian".

"ku tak melihat kau membawa terang yang kau janjikan..."

Malam ini, di kamar itu udara dibiarkan berputarputar di sana. Pengap. Di luar gelap. Meski bulan di sana sedang sempurna, cahayanya; tapi bukankah gelap tak pernah menawarkan terang, kebahagiaan? Bukankah gelap identik dengan sepi dan berasosiasi dengan kesengsaraan?

"...oh di mana tenang yang kau janjikan..."

Hahhhh! Ia menghempaskan nafasnya. Ia hisap lagi rokok yang tadi meletik, seperti ingin minta terus dihisap. Ini dia. Bara rokoknya mengingatkannya kembali pada harihari yang bodoh di pinggir danau waktu itu. Bara yang menyala pada lins, seperti tak ingin dimatikan. Bara itu terus meminta untuk dihisap. Linslins yang selalu menawarkan keceriaan. Dan kau akan tertawa terus tanpa henti. Memandang Senja merah di ufuk sana, semerah mata, semerah darah. Bersama dengan itu, kau tentu tahu, dengan cara itulah kadang aku, kau, tidak terlalu memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi atas peristiwaperistiwa yang terjadi, seperti sore ini.

"...kau bawa bara berserak di halaman hingga kekeringan..."

Ia kembali mengingat tentang kisah hujan di suatu sore. Saat dua tubuh bersandar pada tembok merah. Jarijari yang sibuk mengetik tutstuts handphone. Saling berbalas ria sms. Di mana waktu itu segala kemungkinan bisa saja terjadi usai sore berhujan. Andai tak ada kata "hujan...", mungkin Ia tak pernah bisa jalan berdampingan satu payung dengannya. Atau Ia mungkin tak pernah mengetahui jika di suatu dini hari, saat dingin masih menusuknusuk tulang, Ia pergi mengantarnya. Atau lebih tragis lagi, jika tak ada kata "hujan...", Ia bisa saja tak bisa berdiri di samping pagi yang begitu cerah.
***

Rokok keduanya, di kamar itu, pun akhirnya habis terbakar. Tanpa peduli "merokok dapat merusak bla bla bla", Ia menjumput sebatang, lagi. Menyemburkan lagi asapnya ke udara. Dibiarkan dengan seksama asapasap itu menarinari, lantas disapu angin, dan lalu lenyap.

Di telinganya masih terngiang katakata yang sejatinya tak pernah ingin Ia dengar. Katakata yang berakhir pada janji dan komitmen. Untuk berjalan terus, padahal mengetahui jalannya buntu. Terhalang tembok tinggi dan tebal yang begitu angkuh berdiri menghalangi.

Entahlah. Ia yang jelas memang masih ingin terus melangkah. Meski segala kemungkinan sudah tertanam di benak mereka. Tapi kali ini Ia butuh selins saja untuk berceria dan tertawa. Menertawakan diri, ditertawakan keangkuhan. Sayang malam ini, hanya rokokrokok yang menemaninya. Mungkin dengan itu Ia bisa tenang. Dilihatnya dan dihitungnya batangbatang rokok dalam bungkus: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Cukup tampaknya untuk malam ini. Tujuh batang yang diharapkan bisa menenangkan dan menemani dalam menghadapi segalasegala kemungkinan yang memuakkan di depan...

"...oh di mana terang yang kau janjikan,
aku kesepian
di mana tenang yang kau janjikan,
aku kesepian
di mana menang yang kau janjikan,
aku kesepian
sepi..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar