Minggu, 14 November 2010

Tentang Kisah Hujan dan Waktu

Adalah hujan yang membuatku bersandar punggung pada tembok merah. Merenung dan merenang pada hujan di atas sana, atau sore yang tak tampak senja merahnya. Saat ku bertanya-tanya akan kisah dulu, masih adakah sisa-sisa peluh yang dibakar matahari? Atau malah aku tak menyadari jika hujan memang benar-benar telah menyapu bersih air mata di jejak senja ini.
Adalah hujan yang membekap dua hati, lantas menuntun hingga perbatasan penantian. Lunglai, lemah, dan seolah-olah tak berasa. Di saat yang sama kau tersenyum bertanya melihat layar selulermu, bertuliskan “Hujan…”. Aku, begitupun engkau, menolak kekalahan tentang takluknya harapan pada kenyataan. Tapi lebih memilih untuk memberi nafas atas harapan itu sendiri pada kenyataan di depan mata.
Dan adalah hujan yang membuka kesempatan tereratnya jemarimu di jemariku. Tentang perjalanan di bawah payung berdua. Atau obrolan di bawah purnama merah, di kos-kosanmu. Mengantarmu pulang, membelai rambutmu, menjilati es krim bersama, hingga telunjukku mengusap air mata atas tangismu akibat amarahku.
Namun adalah waktu yang membawamu mengenal lebih jauh libido-libido purba, ketika langkah kaki rehat sejenak pada pertengahan antara senja dan malam yang rimis. Atau waktu yang mengarahkan perjalanan menemui pertigaan, atau bahkan perempatan dalam sita emosi. Atau tentang betapa air mata menjadi tanda dalamnya rasa. Ketika pengorbanan bertikai halus dengan kekecewaan sesaat.
Adalah hujan awal semua ini. Adalah waktu yang membawa kita pada penjara tak berteralis bernamakan cinta. Sampai pada satu titik di mana kita telah saling mengerti mengapa jemarimu masih saja erat di jemariku…

10-05-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar